Rabu, 30 November 2016

S i m p l y

{  Dewi Lestari, out of shell }

I stand here with a thousand words and  tons of hopes
But blankness is the place they ended up the most
I'm lost in the frequency of the oddities
It feels so hard to breathe
I'm like a hapless piece of symphony that no one really cares to hear
 
You simply inspire me
Collide into me
But no one's there
So why don't you hold me
Why don't you move me
So I know you care
I wonder how far to go
To simply have you and simply keep you
 
And now, when everything has been said and done
In silence I can only wish I am the one
I'm floating like a bubble that will pop and be gone
Just trying to make you see
The simplicity of lock and key
And how you're never ever there to free me...

          

Cinta Senja (5 , usai)

Hujan.
Air berjatuhan, harum tanah basah, pepohonan riang, dedaunan menari-nari bersama iringan irama air hujan.
Perempuan itu duduk di kursi rotan yang terletak menghadap jendela di sebuah kamar. Tak luas, hanya ada tempat tidur ukuran satu orang, meja kecil disisi kanannya dan lemari baju disamping kirinya Diseberang tempat tidur ada meja tulis sederhana dengan susunan buku-buku rapi diatasnya dan sebuah pot bunga yang kecil ukurannya. Lalu ada jendela pada sisi lain ruangan. Jendela yang menghadap sebuah taman.

Hujan.
Seharusnya hari ini ada janji pertemuan. Bertemu seseorang dengan tumpukan cerita  yang siap dibagikan. Cerita tentang ketidakmampuan menerjemahkan keadaan.
Keadaan yang semestinya dari awal bisa dilewatkan, namun akhirnya dijalani dengan alasan 'karena soal perasaan sulit terhindarkan'.
Ia tak tahu lagi bagaimana cara mengakhiri, sama seperti ketidaktahuannya tentang bagaimana awalnya kisah ini dimulai.
Yang pasti dia ingat, bahwa semua tak pernah direncanakan, tiba-tiba benih cinta bermekaran. Mungkin karena karena bibitnya telah lama tertanam, tersimpan. Atau sesungguhnya hanya melampiaskan penasaran? Ah, entah.

Masih hujan.
Titik-titiknya kini merintih perlahan, tak lagi deras seperti air mata yang ingin bebas.
Belum juga ia memutuskan, apakah hendak pergi atau di kamar ini saja berdiam diri, menikmati tetes hujan, merasakan kesakitan, sendirian.
Mungkinkah dia akan menungguku? Memenuhi janji bertemu di kedai kopi kesukaanku. Kedai dengan banyak buku-buku.

Perempuan itu memandangi sebuah kotak berwarna coklat tua di atas meja. Kotak berisi kertas-kertas berisikan rangkaian cerita, yang tak sempat dijilid, hanya diikat dengan seutas tali sewarna dengan kotaknya, coklat tua. Simpulnya ia buat sebentuk pita. Sudah berulang kali ia membaca tumpukan cerita itu, dan masih saja ragu. Pantaskah kisahnya dituliskan, kisah tentang sebuah kesalahan, rasa bersalah. Kisah tentang manusia-manusia yang tersesat dalam kabut pekat bernama khianat.
Tapi ia ingin membuat kenangan akan sebuah perjumpaan. Perjumpaan yang pada saat bersamaan membawa kebahagiaan sekaligus tangisan. Pertemuan yang membuatnya jatuh hati sekaligus patah hati. Untuk itu ia menuliskannya, kenangan pada sebuah dosa, kenangan akan kebodohan.

Perempuan itu memutuskan tidak ingin lagi ada pertemuan. Menjanjikan pada laki-laki itu suatu senja untuk dilewati bersama, karena laki-laki yang dicintainya itu meminta. Tapi sesungguhnya ia tak pernah merencanakan hadir disana. Ia hanya ingin menyelesaikannya, kisah cinta yang tak ada ujungnya.

Hujan reda, senja tiba. Senja tanpa warna jingga.
Ada genangan air di sudut matanya. Berjalan ia menuju meja. Dibukanya kotak warna coklat tua. Air matanya jatuh pada halaman pertama. Selamat tinggal kenangan, bukan karena tak lagi cinta, tapi 'kita' memang seharusnya tak pernah ada, demikian takdir-Nya tercipta. Kita hanya menjalin dusta, dosa dan luka bila terus menerus memaksakan cerita, aku tak bisa.

Perempuan itu menutup kembali kotak berwarna coklat tua berisi lembaran-lembaran cerita. Cerita yang tak akan kemana-mana, cerita yang akan hanya jadi miliknya, cerita yang laki-laki itu tak akan pernah membacanya. Cerita tentang senja.

"Letting go means to come to the realization that some people are part of your history, but not a part of your destiny." - Steve Maraboli

Sabtu, 19 November 2016

F o o l i s h n e s s

Sudah sekian lama. Sudah terlalu lama.
Dulu, aku terus saja menghitung waktu.
Waktu pun berlalu. Dan keinginanku  menunggu yang tak perlu itu membuatku dungu-semakin dungu tepatnya, karena membuat cerita yang tak seharusnya ada adalah kebodohan tak termaafkan.
Kemudian betapa semakin bodohnya, aku masih saja terganggu rasa rindu. Masih saja semua kata yang pernah diucapkannya terngiang-ngiang ditelingaku. Masih saja raganya tercipta dalam khayalku.  

Selesai itu belum tentu usai. Berhenti itu belum tentu mati.

Begitu hatiku bicara, lalu otakku menertawakannya.

Semoga terampuni semua yang pernah terjadi. Tak ingin lagi aku lalui, walau jalannya begitu penuh hiasan rupa warna, tak ingin lagi aku ingin tahu, tak mau lagi aku melewati.

Skenario-Nya sudah sangat luar biasa. Hanya aku yang masih saja mencari jalan cerita. Dan pada sebuah ruang bernama sesal akhir kisahnya.

Kusadari bahwa semua telah memiliki waktunya sendiri.
Bahkan sandungan batu uji sudah tepat pada saatnya. Tak ada yang terjadi tanpa ijin-Nya. Tapi aku menjalaninya dengan bekal keranjang-keranjang kebodohan yang memberatkan, melelahkan, hilang daya dan nyaris pingsan.

Kini, aku masih diberi waktu.
Dalam sebuah perjalanan yang telah lalu, ada banyak pelajaran untukku.
Bila memang harus untukku tak akan luput dariku. Jika bukan untukku, tak akan pernah ada dalam genggamanku meski setengah mati usahaku ingin memiliki.

Demikian takdir dituliskan, limapuluh ribu  tahun lalu sebelum bumi diciptakan.


Senin, 11 Februari 2013

Cinta Senja (4)



Laki-laki itu duduk diam di meja yang terletak di sudut ruangan sebuah kedai kopi. Kedai sederhana namun nyaman dan menenangkan. Ada jendela kaca pada sisi kirinya. Sore ini jendela itu tampak menangis dengan titik-titik sisa air hujan pada kacanya. Laki-laki itu berharap ada sedikit saja sisa sinar sang surya, berharap pelangi hadir mewarnai langit. Langit yang sedari tadi dia pandangi hanya berwarna abu-abu. Ada rak-rak buku berjajar di seberang mejanya. Buku-buku lama dan terbitan terbaru - yang disusun berdasarkan jenis buku, tampak berbaris rapi, menanti untuk dipilih oleh pengunjung kedai yang ingin menikmati kopi sambil mengisi jiwa dengan membaca.
Laki-laki itu ingat pada perempuan yang mengisi hatinya. Perempuan itu suka sekali minum kopi disini. Bukan hanya karena kopinya yang nikmat dan suasana kedai yang menenangkan dengan alunan musik lembut memenuhi ruangan, tapi juga karena hadirnya buku-buku disana. Suatu saat aku ingin bukuku ada di rak itu, lalu kamu membacanya ketika aku tak lagi ada, begitu katanya suatu ketika. Laki-laki itu memang pernah meminta perempuan itu untuk menuliskan kisah mereka. Dan perempuan itu hanya tertawa lirih kala itu, merasa tak akan mampu bercerita tentang cinta yang tak ada ujungnya.
Sudah satu gelas coklat panas dipesannya. Dia pesankan juga satu cangkir kopi untuk perempuan yang telah berjanji akan menemaninya menanti turunnya senja hari ini. Walau senja kali ini mungkin tak akan jingga warnanya-karena langit telah berair mata sedemikian banyaknya, dan menyisakan tetes-tetes air pada kaca jendela disisinya.
Laki-laki itu selalu menatap pintu kedai bila terdengar bunyi gemerincing lonceng-lonceng kecil yang dipasang di pintu dan akan berbunyi bila pintu terbuka. Tak juga muncul perempuan yang ditunggunya. Setiap pintu terbuka, setiap lonceng-lonceng kecil saling beradu, maka degup jantungnya pun ikut nyaring bersuara, berharap belahan jiwanya akan menampakkan dirinya.
Dan waktu pun bergulir dalam diam. Sudah hampir habis coklat panasnya, sudah dingin kopi yang dipesannya. Sudah beberapa buku dia ambil dari rak dan dibaca sekedarnya, hanya untuk teman sementara dalam kesendiriannya.
Kegelisahaan perlahan merambati hatinya, pelan-pelan memaksanya berprasangka. Mungkinkah perempuan yang dinantinya tak akan tiba hingga senja datang menyapa. Pelayan kedai telah bertanya padanya, apakah dia akan menambah minuman lain atau sekedar penganan kecil. Tampaknya kegiatannya menatap jendela, membolak balik halaman buku-buku dan mengamati pintu cukup menarik perhatian sang pelayan. Hingga tergerak untuk menawarkan ‘kegiatan’ lain, membaca buku menu dan memesan sesuatu.
Senja akhirnya tiba juga, senja yang tak jingga warnanya.
Laki-laki itu tampak kecewa tak bisa menikmati senja bersama perempuan yang telah berjanji akan menemaninya. Dari kaca jendela disisinya, terlihat lampu-lampu jalanan yang mulai bercahaya, tercipta suasana yang temaram.
Dimanakah kamu? Lupakah kamu pada janjimu, ataukah kamu memang sengaja membiarkan aku menunggu untuk menguji kesungguhanku? Semoga saja kamu sedang sibuk menulis buku. Buku tentang cinta yang tak ada ujungnya-demikian menurutmu, yang akan ikut dalam barisan buku di rak berwarna coklat tua yang ada di kedai kopi kesukaanmu.
 Kamu seharusnya tahu, bahwa menunggumu adalah sesuatu yang tak perlu kamu minta dariku.
Senja sudah selewat lalu. Laki-laki itu beranjak pergi, membayar coklat panas yang telah tandas dan secangkir kopi yang tak lagi panas. Mengembalikan buku-buku yang hanya dibacanya sambil lalu. Sejenak ditatapnya meja tempat duduknya, seakan mengucapkan salam pada kekosongan.
Gemerincing lonceng pintu, laki-laki itu pun pergi meninggalkan kedai kopi.

Sabtu, 07 Juli 2012

kisah tak sampai


Aku sudah membuatkanmu sebuah cerita, merangkai aksara menjadikannya kata-kata, berbaris-baris banyaknya. Menggambarkan kisah yang pernah ada, memberinya jiwa. Tapi entah dimana kamu berada, mungkinkah kamu akan membacanya?

Aku sudah menyiapkan cerita lagi, yang akan kutulis nanti. Nanti ketika jari jemariku ingin menari, mengisahkan segelas coklat panas dan secangkir kopi, mengisahkan senja yang tak jingga warnanya, mengisahkan titik-titik air hujan pada kaca jendela yang buram.

Harus bercerita apalagi aku? Kini semua hanya tentang aku. Aku yang menunggu angin mengabarkan berita tentangmu. Tapi hingga kini tak kudengar bisikan sang bayu. Tak perlu aku kisahkan, biar semesta yang mengabadikan.

Dimanakah kamu? Semoga ada lagu rindu untukku, yang bersenandung dalam hatimu...

Selasa, 29 Mei 2012

without you

See noone,
Feel nothing,
Say no words,
Hear no voice,
Breath no air,…

Empty…
Hurt…
Tears…
Pain…
here,…in my heart

Rabu, 08 Februari 2012

tak terceritakan ..

Cerita itu bicara dalam bahasa yang tak pernah bisa dimengerti
Cerita itu menuliskan susunan aksara yang tak pernah bisa terbaca
Cerita itu menggambarkan kisah manusia-manusia yang tak bisa dipahami
Cerita itu menjelaskan sesuatu yang tak perlu dicari tahu
Cerita itu menciptakan rasa yang tak bisa diterjemahkan dalam kata-kata
Cerita itu membisikkan makna yang tak kan bisa didengarkan telinga

Cerita itu hanya aku, kamu dan Tuhan yang tahu,
tak perlu babak baru, Sutradara alam raya telah mengutus sang waktu
maka biar semua menjadi tiada, semesta telah memberikan tandanya..